Komisi VI Dengarkan Keluhan Petani Garam Madura
Petani garam Madura yang tergabung dalam Gerakan Gotong Royong Petani Garam Madura menyampaikan aspirasi dan persoalan yang hingga kini belum selesai ke Komisi VI DPR. Persoalan yang mengemuka adalah lahan garapan yang masih dikuasai PT. Garam. Sengketa lahan ini belum menemukan titik temu, sehingga para petani resah dan gamang menggarap lahan garamnya.
Demikian mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dengan Deputi BUMN, Dirjen Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian, Direksi PT. Garam, dan para petani garam, Selasa (26/3).
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komis VI Aria Bima (F-PDI Perjuangan), itu ingin memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para petani garam untuk menyampaikan persoalan yang membelit mereka selama ini.
“Petani garam Madura sudah menyampaikan masalah lahan penggarapan. Sampai saat ini belum ada penyelesaian karena lahan tersebut masih dikuasai PT. Garam,” kata Aria Bima saat memimpin rapat. Persoalan lahan garapan ini memang agak pelik. Riwayat lahan garapan yang ada di Madura tersebut sebenarnya merupakan peninggalan Belanda yang diperoleh dengan pengambilalihan lahan tesebut dengan menyewa selama 50 tahun.
Dari dokumen yang ada, beraksara Jawa kuno pernah ditandatangani oleh Kepala Desa Pinggir Papas Sastro Widjoyo dan Kepala Desa Karang Anyar Sastro Soedeso dengan Bupati Sumenep Raden Tumenggung Ario Samadikun, terhitung tanggal 7 Agustus 1936.
Batas waktu perjanjian adalah 7 Agustus 1986 yang seharusnya lahan tersebut dikembalikan kepada petani garam. Namun, lahan tidak dikembalikan tetapi terbit sertifikat hak pakai atas nama Departemen Perindustrian c.q. PT. Garam.
Para petani garam berupaya melakukan berbagai cara untuk mendapatkan haknya kembali sesuai perjanjian. Musyawarah mufakat pernah dilakukan yang difasilitasi Pemda Jatim. Namun, sampai saat ini belum ada realisasi yang menguntungkan untuk para petani garam.
“Petani hanya menggarap, tidak mengambil hak. Cuma, kok, belum ada eksekusi. Maka kali ini kita memfasilitasi supaya ada kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain sesuai kesepakatan itu,” kata Aria.
Persoalan ini sebelumnya dipegang oleh Kementerian Perindustrian sebelum ditangani Kementerian BUMN. Peralihan dari Kementerian Perindustrian ke Kementerian BUMN juga ternyata menyisakan masalah. “Akibatnya, sampai sekarang macet pada implementasi kesepakatan-kesepakatan itu,” ungkap Aria Bima. (mh), foto : od/parle/hr.